Sumber-sumber pengambilan ilmu bagi ahli bid’ah

SUMBER-SUMBER PENGAMBILAN ILMU BAGI AHLI BID’AH
Risalah Al-Hujjah No: 87 / Thn. III / Dzulhijjah 1421 H

Sumber-sumber pengambilan ilmu menurut Ahlussunnah wal Jamaah adalah wahyu, nash-nash al-Qur’an menurut pemahaman para salaf yang sholeh (para shabat Rasulullah saw). Adapun para ahli bid’ah, mereka memiliki sumber-sumber pengambilan ilmu yang banyak sekali, dan bahwasanya boleh bagi setiap orang untuk mengambil dalil dengan dalil-dalil yang asing dari Al-kitab dan sunnah, dengan metode yang aneh dalam pemahaman atau pun pengambilan dalil. Oleh karenanya muncullah beberapa pendapat yang besar dari para ahli bid’ah yang menyelisihi ruh syari’at, dan menyelisihi timbangan wahyu yang tetap.

Pada tulisan Al-Hujjah kali ini kami akan mem-bicarakan tentang pokok-pokok sumber pengambilan ilmu menurut ahli bid’ah. Yaitu ada tiga :

Bersumber pada aqal (ra’yu).

Bersumber pada kasyaf (penyingkapan tabir ghaib).

Bersumber pada madzhab.

1. AQAL (Ra’yu).

Aqal dalam syara’ (agama) adalah sandaran, taklif (pembebanan) [maksudnya beban-beban syari’at akan diberikan jika ia berakal sehat, dan tidak ada beban bagi orang gila –red], dan yang dimaksud yang aqal disini adalah berfikir dengan akal yang biasa, yang dilakukan dengan mudah bagi orang-orang awam dan orang-orang yang tidak memahami ilmu kalam, ilmu filsafat dan ilmu mantiq. Oleh karenanya di dalam Kitab Allah terdapat dalil-dalil aqliyah tentang hari pembangkitan (makhluk dari kubur), Tauhid Uluhiyah, Nubuwah dan lain-lain.

Akal sehat yang bebas dari pengaruh nafsu dan syubhat tidak akan bertentangan dengan dalil-dalil naqli yang shahih dalam keadaan bagaimana pun juga. Dan syara’ (agama) tidak datang membawa sesuatu yang ditolak oleh akal, walau pun terkadang syara’ datang membawa sesuatu yang tidak difahami oleh akal. Demikian itu disebabkan karena pencipta akal adalah Allah swt, dan menurunkan wahyu adalah Allah juga, dan Dia telah menjadikan akal sesuai dengan wahyu. Sehingga yang dimaksudkan “orang yang berakal” adalah orang yang beriman dan taat kepada Allah. : “Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu” (At-Thalaq:10)

Perumpamaan yang sangat bagus dalam kedudukan akal dengan wahyu adalah : Sesungguhnya akal ibarat mata dan wahyu ibarat cahaya. Jika tidak ada cahaya maka mata tidak akan melihat apapun selamanya. Sehingga di saat itu mata tidak berguna sama sekali. Begitu pula jika tidak ada mata, maka cahaya tidak dapat digunakan sama sekali.

Ringkasnya, Ahlussunnah wal Jamaah tidak pernah mengingkari orang yang berpegang dengan akal sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, akan tetapi mereka mengingkari sikap orang-orang yang mendahulukan akal dari nash-nash wahyu, dan mempergunakannya bukan pada tempatnya, yaitu hal-hal yang hakekatnya hanya diketahui oleh Allah swt. Ahlussunnah juga mengingkari sikap menjadikan akal sebagai sebagai sumber pengambilan ilmu.

Dari sini diketahui bahwa ahli bid’ah dari kalangan ahli ilmu kalam atau filsafat, jika mengucapkan kata aqal, maka mereka tidak menginginkan dengan kata itu akal yang telah diketahui umum, akan tetapi yang mereka inginkan adalah kebodohan-kebodohan ilmu kalam yang diistilahkan dengan qawati’ul Aqliyah. (Hukum-hukum akal yang pasti). Kemudian setelah itu mereka menganggap tidak apa-apa untuk menyimpangkan nash-nash agama dan petunjuk-petunjuk berdasarkan lafazh-lafazh dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tahrif (merobah makna dan lafazh) dan ta’wil (memberikan makna yang berbeda dengan makna zhahirnya) untuk menyesuaikan dengan apa yang mereka namakan akal, menurut anggapan mereka.

Firqah (golongan) yang pertama kali menjadikan aqal sebagai sumber ilmu adalah Jahmiyah, kemudian nampak lebih jelas bentuknya pada kaum Mu’tazilah. Kemudian Asy-‘ariyah (kelompok yang menyatakan sebagai pengikut Abul Hasan Al-Asy’ari) dan Maturidy (kelompok yang menyatakan sebagai pengikut Abu Manshur Al-Maturidi) mengikuti Jahmiyah dan Mu’tazilah.

Sikap mereka menjadikan aqal sebagai sumber pengambilan ilmu itu disebabkan oleh dua hal:

Penerjemahan buku-buku Yunani (greek) pada masa pemerintahan Makmun dan pada masa-masa setelahnya yang mengkultuskan akal dan mengagung-agungkannya.

Munculnya apa yang disebut dengan ilmu kalam yaitu pada saat munculnya firqah-firqah, ketika sebahagian dari kaum muslimin membantah dengan metode/cara musuh itu sendiri. Dengan berlangsungnya perbantahan itu muncullah apa yang disebut dengan ilmu kalam. Dari sinilah, akal menjadi sumber pengambilan ilmu yang terpercaya pada sebagian kelompok. Adapun dalil syar’i terkadang dipakai untuk menguatkan, bukan sebagai sandaran.

Maka di saat ada orang yang mengatakan bahwa akal adalah sumber pengambilan ilmu dalam masalah aqidah, jadilah kedudukan nash-nash syar’i menjadi lemah pada mereka. Sehingga ada yang mengatakan: “Dalil-dalil lafadz itu tidak memberikan keyakinan”. Dan dia menolak hadits ahad (hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir –red). Dengan alasan masih bersifat zhanny. Ada juga di antara mereka yang mengatakan: “Beramal dengan zhahir-zhahir lafadz termasuk pokok-pokok kekafiran”.

Oleh karena itulah mereka berdalil dengan akal dalam banyak masalah aqidah, seperti mengingkari bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy, serta kewajiban seorang mukallaf terhadap sifat-sifat Allah serta masalah keimanan dan lain-lain.

2. ILMU KASYAF (Penyingkapan Tabir Ghaib).

Ilmu Kasyaf menurut orang-orang TAREKAT SUFIYYAH (TASAWUF), adalah ilmu yang diterima secara yakin, yang didahulukan atas ilmu-ilmu syara’. Padahal kasyaf adalah bisikan-bisikan jiwa, sehingga kadang ada kebenaran dan kebatilan padanya. Sebagian ada yang dari HAWA NAFSU dan sebagian lagi ada yang dari SYETAN. Meski pun demikian, orang-orang ahli tasawuf menganggap bisikan-bisikan itu sebagai sumber pengambilan ilmu ma’rifat dan agama.

Hal ini jelas bertentangan dengan firman Allah: “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.” (Jin 26).

Mereka mengatakan kepada Ahlussunnah wal Jamaah: “Kalian, bersanad dan mengambil ilmu dari orang-orang yang telah mati. Sedangkan kami mengambilnya langsung dari Rabbul Alamin (dari Yang Maha Hidup)”. Yaitu mereka menyatakan: “Hatiku telah membisikku dari Rabbku”.

Mereka mendahulukan kasyaf daripada al-Kitab dan Sunnah. Menurut mereka kasyaf itu akan terjadi dengan mujahadah nafsiyah (menyiksa diri) dan berkhalwat (menyepi, bertapa) dan mengkonsentrasikan tekad untuk berdzikir dengan dzikir yang bid’ah bahkan termasuk syirik. Padahal ilmu kasyaf tidak ada kaitan dan hubungan dengan al-Kitab dan Sunnah. Dan para ahli tasawuf tidak mengharuskan adanya hubungan antara kasyaf dengan al-Kitab dan Sunnah, apalagi menjadikan wahyu sebagai hakim (penentu) atas perasaan dan kasyaf. Ini bukanlah cara Rasulullah dan para sahabat dalam ilmu ma’rifat dan keimanan.

Tidak diragukan lagi bahwa kebersihan dan kesucian jiwa itu akan menambah ilmu dan ma’rifat. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah pembersihan dan penyucian jiwa dengan cara Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu dengan metode yang syar’i. Adapun metode orang-orang tasawuf sangat jauh dari kebenaran dalam pembersihan jiwa. Abu Hamid al-Ghazali (Imam al-Ghazali) mengatakan: “Ilmu Kasyaf adalah ungkapan dari cahaya yang muncul di dalam hati ketika hati itu bersih dan suci dari sifat-sifat yang tercela, dan banyak hal-hal yang tersingkap oleh sebab adanya cahaya itu…sehingga akan terjadi ma’rifat dengan sebenarnya terhadap Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya yang kekal… bisa mengetahui makna nubuwah (kenabian) dan Nabi, makna wahyu… bisa mengetahui cara muncul para malaikat kepada para Nabi, cara sampainya wahyu kepada mereka dan bisa mengetahui kerjaan langit-langit dan bumi.” (Ihya’ Ulumuddin I/18).

Kami akan menghadirkan kepada pembaca bebarapa contoh kasyaf orang-orang tasawuf, sehingga bisa diketahui prakteknya:

Al-Jily telah menyebutkan di dalam kitabnya al-Insanul Kaamil (II/97 dst) bahwasanya telah dibukakan baginya hijab (tabir penghalang) sehingga ia bisa melihat alam bagian bawah dan atasnya, dia bisa melihat para malaikat seluruhnya, dan ia bisa berpindah-pindah dari satu langit ke langit yang lainnya. Dia berkata: “Pada masyhad (jenjang tingkatan menurut ahli tasawuf) ini berkumpulnya para Nabi dan wali, aku berdiri di tempat itu… maka saya melihat semua para Rasul dan Nabi-nabi, para wali dan malaikat yang tinggi dan malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Allah) dan malaikat taskhir (yang bertugas mengatur alam), dan dibukakan bagiku hakekat banyak hal dari sejak zaman azaly sampai selama-lamanya.”

Coba pembaca renungkan kesesatan dari seorang yang mengaku wali ini, dia mengaku telah mencapai ketinggian para nabi, mengetahui hal-hal yang ghaib dan mengetahui keadaan sesuatu dengan kasyaf… sesuatu yang belum tercapai bagi sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali dan bagi para tokoh Ulama Islam. Tidakkah anda perhatikan wahai para pembaca bagaimana kasyaf menjadi sumber pengambilan ilmu menurut kesesatan orang-orang TAREKAT SUFIYYAH tersebut.

Dengan kasyaf ala sufi (menurut anggapan mereka) manusia juga bisa membedakan mana hadits yang shahih dan mana hadits yang dhoif, walau pun ia tidak bisa membaca dan menulis!

Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah penghancuran terhadap pilar-pilar agama dan pengrusakan terhadap ajaran-ajaran syari’at. Kalau memang demikian, kenapa para ulama bersusah-payah untuk mencari hadits dan melakukan perjalan karenanya ?!

Adapun mencari ilmu agama dan membawa al-Qur’an dianggap oleh orang-orang tarekat sebagai tujuan-tujuan dunia yang seharusnya dijauhi.

Al-Ghazali berkomentar tentang apa yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang mencapai derajat kasyaf: “dan hendaklah dia duduk dengan hati yang kosong dan niat yang terpusat. Dan janganlah ia kacaukan pikirannya dengan membaca al-Qur’an, merenungi tafsir atau menulis hadits serta yang lainnya.” (Al-Ghazali wat Tashawuf , hal 194). Dia juga menyatakan tentang kasyaf: “…Orang-orang yang mendapatkan taufiq adalah orang-orang yang mengetahui banyak hal dengan cahaya ilahy, bukan dengan sama’ (yang dimaksud adalah dalil-dalil agama). Mereka menetapkan apa yang sesuai dengan apa yang mereka lihat dan mereka mentakwilkan apa yang tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat”. (Ihya’ Ulumuddin I/104).

Dan dia berkata tentang dalil-dalil syar’i: “Barangsiapa yang mengambil ilmu tentang sesuatu hanya dari dalil syari’at, maka kakinya tidak akan berpijak dengan mantap, dan sikapnya tidak jelas”.

Dengan demikian jelaslah kesesatan bagi kita terhadap para ahli tasawuf yang menjadikan kasyaf sebagai sumber pengambilan ilmu.

3. MADZHAB.

Tidak memperhatikan dalil-dalil syar’i dan ta’ashub (fanatik) terhadap pendapat-pendapat orang yang termasuk perangai kejahilan dan lemahnya ilmu, yang menimpa banyak manusia. Sehingga mata hati mereka menjadi buta dan akal menjadi tertutup, dia tidak menganggap sesuatu itu baik dan benar oleh imam (tokoh:; pemimpin). Inilah yang telah terjadi pada orang-orang yang taqlid buta terhadap madzhab.

Sesungguhnya hakekat taqlid yang mereka lakukan kepada imam-imam atau kelompok (dan tidak mau mengikuti kebenaran –red) meskipun kebenaran itu telah nyata dan dalilnya kuat. Penyebab ini semua adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan) terhadap orang-orang yang memiliki keutamaan, yang hal itu termasuk sarana menuju kebatilan. Dan di antara senjata tajam untuk membela sikap ghuluw ini, adalah sikap orang fanatik yang menuduh –kepada setiap orang yang berusaha untuk mengembalikannya kepada kebenaran– dengan menuduh “membenci dan memusuhi orang-orang yang memiliki keutamaan tadi.”. (Misalnya, perkataan mereka: kalian mengatakan demikian karena kalian tidak suka kepada ulama fulan, dll –red). Padahal para imam telah memperingatkan para pengikut mereka agar tidak bertaqlid kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk mengambil dan sunnah sebagaimana para imam itu, tentulah dengan bimbingan ulama.

Telah datang riwayat dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal bahwasanya mereka mengatakan : “Jika hadits itu shahih maka itulah madzhab (pendapat)ku.”

Dan mereka berkata : “Tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami selama ia tidak tahu dari mana kami mengambil pendapat itu.”

Mereka berkata juga: “Barang siapa menolak hadits Rasulullah saw maka ia berada di tepi kehancuran.”

Meskipun demikian orang yang bertaqlid tidak memahami hal yang demikian. Mereka mengambil perkataan-perkataan para imam, fanatik kepadanya, dan menolak hadits dan sunnah-sunnah. Sehingga mereka menentang nash-nash syar’i dari satu sisi, dan menentang perkataan Imam-imam mereka dari sisi yang lain.

Diantara orang yang fanatik madzhab berkata: “Pada dasarnya setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat madzhab kami maka ayat itu difahami sebagai ayat yang dihapus/digugurkan hukumnya atau ditimbang kuatnya; dan ayat tersebut dianggap lemah dan yang lebih utama adalah ditakwilkan (diberi arti lain) sehingga masuk ke dalam masalah penggabungan atau penyesuaian nash”.

Subhanallah…!! Menyesuaikan Firman Allah dengan perkataan manusia…?!

Bahkan muncullah hadits palsu untuk membela madzhab mereka seperti : “Akan datang setelahku seorang lelaki yang bernama Nu’man bin Tsabit yang bergelar Abu Hanifah, sungguh agama Allah dan Sunnahku akan hidup dengannya.” Dan Lafadz palsu lainnya “Dia adalah lentera umatku”.

Setelah ini semua, bukankah fanatik dan taqlid buta termasuk bid’ah yang paling berbahaya yang akan menghancurkan umat Islam ini.?

Semoga Allah swt mejauhkan kaum muslimin dari ketiga hal yang menyesatkan di atas, dan memberi hidayah kepada kita semua agar tetap berada di atas kebenaran. Wallahu a’lam.

3 respons untuk ‘Sumber-sumber pengambilan ilmu bagi ahli bid’ah

  1. BANYAKAN DI INDONESIA MENJALANI APA KATA GURU NYA WALAUPUN ITU BID’AH.KLO DAH GITU JADINYA YAA TUTUP MATA,TELINGA DAN HATI. MAKLUM AGAMA AMA BUDAYA DI JADIKAN SATU.

Tinggalkan komentar